Daging Kurban

Idul Adha adalah hari daging sedunia. Yang jarang makan daging jadi makan daging. Yang ga pernah makan daging jadi makan daging. Yang ga dapet jatah daging, jadi makan dagingnya sendiri. Semua orang makan daging.

Gue juga. Papa yang jadi panitia, dapet tiga bungkus daging sekaligus dari mesjid. Mama yang selalu masak tempe-tempe-dan tempe aja, sekarang ganti menu lain yaitu masak daging dikecapin. Gue, eming, dan jana jadi gendut mendadak karena makan daging.

Di rumah jadi banyak daging. Apalagi papa bawa pulang lagi daging-daging sisa yang belum sempet dikasihkan ke orangorang, dibawa pulang, ditampung di rumah dulu. Daripada nanti dimakan tikus disana. Jadilah rumah gue tempat penampungan daging hewan kurban.

Yang itu dipisahin. Dua bungkus daging sapi buat pak kasun, kata papa.

Mama ngeliat gue dan jana bergantian. Gantian, gue juga ngeliatin mama dan jana. Jana juga ngeliat gue dan mama bergantian. Kami bertiga liat-liatan.

Bagaimana cara membedakan daging kambing dan daging sapi? Lanjutkan membaca “Daging Kurban”

Legenda Bondoyudo

Alkisah terdapat sebuah sungai terpanjang di kota Lumajang, membelah kota menjadi dua bagian sama besar, sungai itu dinamakan sungai Bondoyudo. Barang siapa ada seorang pendatang yang menetap di Lumajang untuk bekerja ataupu belajar dalam kurun waktu tertentu, ketika melewati sungai Bondoyudo dan tidak melemparkan uang ke dalamnya, maka pendatang tersebut amat sangat dipastikan akan mendapatkan jodoh orang Lumajang. Karena bondoyudo berasal dari kata bondo, yakni terikat. Maka si pendatang tersebut akan terikat dengan Lumajang.

Jengjeng .. Lanjutkan membaca “Legenda Bondoyudo”

Les Privat

Selepas jadi tentor di malang, gue rencananya mau daftar di lembaga bimbingan belajar yang sama disini. Hanya saja, gue sendiri ga tau gimana cara daftarnya. Karena lumajang kota kecil maka ga ada pengumuman lowongan pencarian tenaga kerja, kecuali kalo ada yang punya saudara saudaranya yang kerja disitu. Apalagi lembaga bimbingan primagama kan franchise, jadi ga mungkin yang megang wailayah malang juga megang wilayah lumajang. Surat rujukan riwayat pekerjaan pun gue rasa ga ngaruh kalo dibuat untuk kota sekecil ini. Gue ga jadi daftar.

Ada sih LBB lain disini yang –temen gue, nawarin gue untuk masuk kedalamnya. Pengennya sih iya, hanya saja .. waktu itu gue (akhirnya) udah keterima kerja 😀

Seminggu sebelumnya gue rencanain ama mama kalo gue bikin tempat les privat. Karena kebanyakan orangtua lepas tangan pada pe’er anakanak mereka, apalagi matematika, gimana kalo belajarnya di tempat gue aja 😉 *promosi

Tempat yang paling cocok dijadikan tempat belajar adalah di sisi gang rumah. Tapi posisi itu udah jadi pos kamlingya si eming dan ga bisa diganggu gugat untuk pindah, akhirnya gue pake ruang tamu. Meja tinggi disingkirkan, diganti meja bundar dengan kaki meja yang pendek, miripmirip lesehannya orang jepang begitulah dah, dan karpet dibawahnya biar ga dingin, yang penting nyaman buat belajar. Lanjutkan membaca “Les Privat”

Usung-usung

Dalam bahasa jerman berarti boyongan. Udah dua minggu lebih ini kejadiannya tapi baru bisa gue ceritain hari ini. Sori boro mori lah, tau sendiri kan kalo gue terlalu sibuk ngurusi kayukayu yang beranak pinak. Hahaha. Ceritanya begini, kan gue udah wisuda tanggal 15 september kemarin, nah, gue kan udah ga punya tanggungan lagi untuk menetap di malang. Mau ngapain juga lamalama disana. Kapan hari daftar jadi petugas kebersihan kampus juga ditolak garagara sering nyembunyiin umbel dalem selimut :O

Setelah ambil ijazah dan legalisir, keesokan harinya gue nungguin papa dateng ke Malang. Hari itu adalah hari dimana gue terakhir kalinya gue dengerin frekuensi radio kesayangan gue di Malang. Hiks. Nyesek rasanya ntar ga bisa dengerin curhatan tiap malem di radio VIP, ga bisa denger cerita motivasi dan lagu anakanak dari radio Kosmonita, ga bisa request dan remainder tiap pagi di radio Elvara, dan ga ada lagi stasiun radio yang bisa nemenin gue tidur dengan alunan musiknya. Kangeeen pangkat kubikasi :3 Lanjutkan membaca “Usung-usung”

Di Bawah Atap Bus Kota

Di bawah atap bus kota, aku bergelantungan sendiri ditampar angin panas dari jendela yang terbuka. Panasnya kian terasa karena sang surya tengah berada di ubun-ubun, terletak satu sentimeter dari atas atap bus kota. Sopir mempercepat laju kendaraan diatas normal, ia seperti kesetanan dikejar waktu.

Di bawah atap bus kota, aku melihat seorang kakek tua yang duduk di barisan ketiga dari depan. Berkali-kali mengusap peluh di dahinya yang penuh dengan kerutan. Kopyah hitam bulukan itu dikipas-kipaskan ke tubuhnya. Ia mendekap tas plastik hitam di dadanya. Buah tangan yang akan ia berikan kepada cucu tersayang. Cucu dari anaknya tak tak kunjung pulang ke rumah. Sesekali ia melongok ke jendela, melihat suasana di luar, apakah ia sudah sampai di tempat tujuan atau malah tersesat di tempat antah berantah. Karena usia yang menjelang senja, daya ingatnya tentu berkurang. Setengah ingat setengah lupa dimana alamat anaknya tinggal. Yang tersisa hanyalah kenangan manis lima tahun lalu, hari dimana ia berkumpul dengan anak-anak dan cucu-cucunya di hari lebaran. Lebaran terakhirnya. Lanjutkan membaca “Di Bawah Atap Bus Kota”