Tiga Tahun Dalam Tiga Hari

22 Agustus 2009

Hari Pertama

“Di, aku tanggal 22 nikah..”
Sebuah kata dari sms yang buat aku tercengang! Mematung tanpa kata-kata. Suasana berubah jadi mendung dan guntur menderu tiada henti-hentinya. Aku sendiri tidak tau apa yang sedang terjadi padaku, entah ini mimpi atau nyata!

Ah, lebih baik aku balas saja sms ini, tapi apa yang harus aku kirim? Sebagai orang yang tak lagi dihatinya, mungkin ucapan selamat-lah yang terbaik.
“Selamat ya..”
Message sent!

Aku tak kuasa menahan gejolak dihatiku, rasa yang aku tiap hari aku tutup-tutupi dengan lembar-lembar kenangan indah, selama tiga tahun, membuncah dalam tiga detik dengan tiga kata ajaib itu, begitu hebatkah wanita itu?

Tit.. tit..
New message!
“Tapi aku masih sayang ama kamu..”

Bluaaarr!! Hatiku meledak seperti bom atom. Aku hanya bisa terdiam.. lemas. Hanya hatiku yang bisa berdengung “Aku juga sayang ama kamu, Win”. Aku masih terdiam, nafaspun hampir tak kuasa! Kucubit pipi kiriku, aww.. ternyata sakit. Menunjukkan kali ini nyata.

Tit..tit..
New message! From : my soulmate, Hani.
“Chayank, I love you.. jangan tinggalkan aku ya! Pacarku tersayang.. emmuach”
Ada sms yang insyaAllah soulmateku itu, aku bilang insyaAllah karena aku juga tidak yakin. Walau dia rela berikan apapun buat aku. Buktinya kenangan tiga tahun itu runtuh hanya dalam tiga detik.

Pikirku melayang tak tentu, beribu tanya muncul. Namun aku tak tau seperti apakah jawaban atas pertanyaanku selama ini.

Hari Kedua

Siang ini aku menemai Hani makan siang, di kantin kantor tempat kami bekerja. Ia masih saja menceritakan khayalannya tentang masa depannya. Menikah, punya anak, rumah gedong, mobil mewah, sampai arisan dengan istri pejabat. Dan aku masih mendengarkan celotehan-celotehan dan guyonan-guyonan yang tak ku tanggapi dengan serius.

Tiba-tiba Hani berhenti berbicara, ia tahu bahwa aku tak mendengarkannya. Ia meletakkan tangan kanannya yang halus diatas tangan kiriku. Aku menatap matanya indah.
“Di, aku tahu kau banyak pikiran saat ini. Dan aku tahu kau begitu sulit untuk menceritakan apa yang terjadi. Bukannya aku mau mencampuri urusanmu, namun.. lupakan dia”.

Aku menarik tanganku darinya. Aku mendengar ia mendesah. Hani, wanita paling tegar dan sabar yang pernah ku kenal dan aku, aku adalah pria terbodoh se-dunia. Karena aku hampir melepas sekarung cinta yang berada dihadapanku hanya untuk mengejar segenggam cinta lamaku yang telah lama meninggalkanku.

Setibanya di ruangan kerjaku, setumpuk arsip di meja telah menantiku untuk dikerjakan. Aku duduk di kursi dengan ogah-ogahan melihat arsip-arsip yang aku kerjakan selama beberapa tahun ini. Bukannya langsung kerja, aku malah tiduran sambil memandang langit-langit. Sesekali memandangi foto yang masih berada didalam dompet kesayangannku. Foto seorang wanita terindah yang pernah kumiliki, … Winda.

Disaat angan-angannku terbang melayang melewati ujung dunia, Adit mengagetkanku dengan masuk ruanganku tiba-tiba. Segera ku tutupi foto itu. Adit memasuki ruangan dengan tergopoh-gopoh membawa setumpuk berkas. Kini aku melihat berkas arsip-arsip sebanyak dua kali lipat yang harus aku kerjakan.

“Apa yang kau lihat, kawan?”, tanya Adit melihatku bingung.
“Apakah aku harus mengerjakan semuanya? Hari ini?”.
“Ya, itu harus. Atau kau ingin dipecat secepatnya”, kata Adit tegas.
“Dan kau tak bisa membantuku?”.
“Aku bisa, tapi .. Bos tak mengijinkanku”, jawab Adit.

Selalu saja aku dan aku yang harus melakukan semuanya. Aku tak tahu apa yang Bos pikirkan terhadapku. Tapi aku harus melakukannya. Satu demi satu berkas sudah selesai ku kerjakan. Meski membuang banyak waktu, namun … pekerjaanku dipertaruhkan.

Aku mengoleskan balsem di leher belakangku yang nyeri. Ku putar-putar kepalaku. Aku ingin istirahat sejenak. Aku bangun dari tempat dudukku, menuju kantin. Malam-malam begini aku seharusnya berada di rumah, dengan berbalut selimut hangat, menonton DVD hingga tertidur di sofa, hmm.. sungguh nikmat sekali. Namun kenyataannya, aku masih disini dengan setengah pekerjaan yang belum ku selesaikan.

Aku meneguk kopiku sedikit demi sedikit, mencoba menahan kantuk yang amat membelitku. Tanpa diduga, aku berpapasan dengan dia. Dia yang ku kagumi selama ini. Biasanya, dia akan memberikan senyuman termanisnya ketika berjumpa denganku, namun kali ini tidak. Apa ada yang salah denganku?? Sehingga ia tidak mengubah sedikit ekspresi wajahnya. Dan ia berlalu begitu saja. Hilang dari pandangan.

Aku ingin sekali menjelaskan padanya, betapa aku menginginkannya seperti ia menginginkanku. Dan aku ingin sekali terus berada di sisinya, .. selamanya.

Tit.. tit..
New message!
“Lupakan aku”

Hari Ketiga

Aku tidak suka dia. Benar-benar tidak suka. Tingkahnya mulai berubah, membuatku muak ketika berhadapan dengannya.
“Kalo ga becus kerja mending jangan kerja!”.
Ia membentakku lagi. Sudah satu jam aku berada di ruangan seseorang dengan pangkat tertinggi di kantorku. Dan dalam satu jam itulah, semua amarah ia luapkan padaku.

“Aku tak bisa mempekerjakanmu di kantor ini lagi”, katanya.
Aku melihat seberkas kesedihan dari kedua bola matanya. Ia terus saja menulis di atas kertas di mejanya.
“Kau dipecat”, katanya padaku.
Aku keluar ruangan dengan perasaan hancur, sedih, dan tanpa harapan. Aku masih memegang amplop yang berisi uang tunjangan dan sebuah surat pemecatan yang ditandatangani oleh Winda Kanyadevi.

Ku kirimkan sms padanya.
“Mengapa kau lakukan ini padaku, Win?”
Message sent!

Tit.. tit..
New message!
“Aku harus melupakanmu, Di. Aku harus melakukan jalan ini. Aku bisa melupakanmu jika kau jauh dariku”

Aku berjalan menuju ruanganku. Membereskan apa yang harus aku bereskan. Membuang semua kenangan indah bersamanya.

Namun, kenapa rasa itu masih ada? Seharusnya kau menyakitiku lebih dalam agar aku bisa melupakanmu. Tetapi kenangan indah selama tiga tahun itu tak akan mudah dilupakan. Romantiskah bertemu diam-diam di sudut kantor, di saat semua sudah sepi karena takut ketahuan? Mungkin hanya satpam itu yang merestui hubungan kita.

Tertunduk sendiri di bawah jendela ruangan besarmu itu, dengan setia kamu menunggu. Walau hanya untuk bertemu sebentar. Sekedar duduk terdiam, namun serasa sudah terucap seribu kata. Indah, pahit, asam, sakit, perih! Mungkin sudah membuat sambungan neuro di otakku bergeser.

Bak ilmuwan, aku membuat sebuah teori irrasional bodoh : “meninggalkanmu akan membuatmu bahagia”

September Ends

Agustus 2009

Aku bangun semenit lebih awal dari alarm Hape-ku. Aku menggeliat di tempat tidur. Tak juga ingin bangun. Hawa dingin kota Malang menusuk tulang. Belum genap aku seminggu disini, namun penyakit flu itu terus menerus menyerangku.

Akhirnya aku terbangun lagi. Alarm disampingku berbunyi. Kumatikan. Dan aku juga tak mau beranjak bangun. Ku amati jam yang jarumnya terus bergerak tanpa henti. Alarm itu berbunyi lagi. Alarm milik Mbak Dewi, teman sekamarku. Mau tak mau, aku akhirnya bagun juga. Tak enak jika berebut kamar mandi dengannya. Ia telah turun ke lantai bawah, ketika aku baru melepaskan kaos kaki tebal pemberian Ayah yang menghangatkanku sepanjang malam.

Aku menuju kamar mandi. Terdengar kecipak-kecipuk air dari kamar mandi sebelah. Pastilah Mbak Dewi. Wajah terasa segar mendapat basuhan air dingin yang menggetarkan tulang itu. sekembalinya ke kamar, ku lakukan sholat malam yang jarang-jarang aku lakukan. Khusyuk dalam renungan malam, berdoa pada sang pencipta yang Maha Segalanya.

Mbak Dewi mulai memakan makanan sahurnya, ia menawariku, aku bilang terima kasih. Aku menuju dapur mengambil piring dan sendok. Ketika aku beranjak naik tangga kudengar sayup-sayup suara musik dari kamar depan. Aku tak bisa memastikan darimana arah suara itu karena di depan terdapat tiga kamar. Aku pikir lagu itu berasal dari radio. Ku pikir mana ada radio yang aktif di pagi buta ini, kecuali saat bulan Ramadhan. Ku dengar lebih seksama. Alunan lagu GreenDay “Wake Me Up When September Ends” yang ku dengar syahdu. Meskipun aku tak begitu menyukai lagu ini. Namun, aku sedikit hapal lagu ini. Karena sering kudengar ketika aku di rumah. Adikku suka menyanyikannya sembari bermain komputer.

Di pagi buta ini, dengan hawa dingin, ku dengarkan samar-samar “Wake Me Up When September Ends” itu. Aku teringat Adam. Entah mengapa aku jadi sangat merindukan sosok lelaki kecil di keluarga kami.

Di kamar, ku cari frekuensi radio itu, 93.00 MHz. Disanalah ku temukan “Wake Me Up When September Ends”. Sembari menikmati santap sahurku aku juga mencermati, memahami, mengapa aku sangat merindukannya? Ia adalah sesosok remaja yang sedang mengalami masa pubertas. Ia tak banyak bicara, cuek luar biasa, hanya komputerlah teman baiknya. Aku juga tak acuh padanya. Karena jika kami akrab barang sebentar saja, tiba-tiba muncul konflik dan aku sakit hati padanya. Sebagai saudara kandung, kami memang tak akrab. Aku bahkan tak pernah menanyakan kabar padanya. Ia juga tak mempermasalahkan PR matematikanya padaku, juga pada siapapun di keluargaku.

Begitu cueknya dia, sampai-sampai ia tak ingat waktu. Ia tak bisa membedakan yang namanya waktu sekolah, belajar, makan, sholat, ataupun bermain di luar. Yang dia kerjakan hanyalah duduk di depan komputer, bereksperimen tentang desainnya sambil mendengarkan lagu keras-keras, menghabiskan uang dengan browsing internet dan ber-sms ria.

Ia tak tahu bagaimana caranya bersosialisasi dengan masyarakat. Sering kali kata-katanya terasa menyakitkan bagiku. Ibu juga sependapat. Namun, ia bukan lelaki yang jahat. Hanya saja ia tak tahu cara berkomunikasi dengan baik. Pekerjaannya hanya menghadapi komputer saja, sehingga ia tak punya waktu melakukan kegiatan di luar ruangan seperti bermain layang-layang, bersepeda, main bola, atau sekedar berbelanja di toko kelontong.

Maka dari itu tak heran ketika Ibu memeriksakannya ke dokter, ia mengalami jantung lemah. Sering merasa gemetaran dan tubuh yang lemas. Aku tahu ia akan mempunyai penyakit seperti itu karena pola makannya tidak teratur dan ia tidak pernah olahraga.

Kadang kala aku merasa iri padanya. Keluargaku amat menyanyanginya meskipun ia berbuat tidak baik. Setelah dimarahi, keesokan harinya dimaafkan, lusanya ia berbuat lagi, dimaafkan lagi, begitu seterusnya. Yang aku tahu, keberuntungannya itu didapatkan dari ia lahir, ia berjenis kelamin laki-laki. Satu-satunya lelaki diantara aku dan adik perempuanku. Keluarga kami berasal dari Jawa yang menganut adat-adat tertentu. Menurut primbon setempat, anak laki-laki diantara dua anak perempuan merupakan penerus keluarga, penerus kebaikan, pokoknya yang baik-baik ada di dalam lelaki itu. Sehingga sedari kecil ia terus dimanja, ia pun tumbuh di atas kasih sayang yang berlebihan oleh kedua orang tuaku. Dan aku sebagai anak perempuan, jujur saja merasa iri atas ketidak adilan itu.

Dulu, pernah suatu ketika kami berada di dalam konflik yang panas. Ia menindas adik perempuanku yang juga adik perempuannya. Aku tidak terima, dan aku melawannya. Orang tua kami yang memegang teguh adat Jawa, memaafkan kesalahannya meskipun mereka tahu bahwa itu perbuatan tidak baik. Aku amat marah, marah kepadanya. Seharusnya ia tahu kalau adat Jawa itu memihaknya dan ia harus merubah pola pikir dan kelakuannya menjadi lebih baik, menjadi penerus keluarga yang bermartabat dan berwibawa. Kenyataannya ia tidak begitu.

Jika aku diberi sebuah permohonan untuk meyelamatkan dunia dan keluargaku, aku berharap agar ia tak pernah dilahirkan di dunia ini.

Aku tak pernah mengerti apa yang berada di pikirannya. Hanya dari komputerlah aku tahu banyak tentang dirinya. Dibaik semua ketidakbaikannya, ada satu hal yang ku suka darinya, ia pintar menggambar. Seorang seniman barangkali begitulah menyebutnya. Sedari kecil ia suka sekali menggambar, menggambar apapun semaunya. Desain yang ia buat pun tak kalah dari desain seorang yang profesional.

Ia bercita-cita menjadi designer dan bekerja di luar negeri. Cita-cita yang tinggi menurutku. Cita-cita yang membutuhkan kerja keras dan doa yang setimpal. Tetapi semua cita-citanya tak akan pernah terwujudkan. Kenapa? Kau tahu kawan.. permohonanku terwujud. Kini ia tak lagi berada di dunia ini.

Jauh dalam lubuk hatiku, aku amat menyayanginya. Sesalku datang terlambat. Aku tak pernah tahu perasaannya. Apakah ia menyayangiku seperti aku menyayanginya? Yang jelas, aku tak akan mendapatkan jawaban lugas darinya. Bulan September telah berakhir, begitu pula GreenDay telah selesai menyanyikan lagu “Wake Me Up When September Ends”. Aku terdiam beberapa saat untuk mengenangnya. Aku merindukannya. Benar-benar merindukannya.