The One

If you’re not the one then why does my soul feel glad today?

image

Ayo naik itu!
Kau menunjuk lingkaran berhias warna-warni, berputar tiga ratus enam puluh derajat berlawanan arah jarum jam.
Berapa umurmu?, tanyaku.
Dua puluh enam tahun, jawabmu sambil nyengir. Tidak terlalu tua, bukan? Bapak tiga puluh tiga tahun yang sudah punya dua anak?
Gantian aku yang nyengir.
Ayolah, mainan ini seru. Ajakmu.
Rok bunga-bungamu terkipas-kipas angin ketika kau berjalan, sambil memeluk boneka hijau beruang hasil tembakanku tepat mengenai sasaran bidik di meja tukang judi keliling.
Jadikan naik ini?
Kau merajuk. Aku tau itu. Poni dan bando mutiara berkilau ditempa matahari. Rambut sebahu berkibar diterbangkan angin, yang selalu aku belai ketika kau berada dibahuku.

Aku mengangguk diiringi senyum riangmu. Kau raih tanganku untuk masuk ke sangkar jeruji gantung.
Mainan ini mulai berputar. Matamu yang indah melirik kesana-kemari melihat pemandangan di bawah.
Indah bukan?
Ya. Apalagi denganmu.
Kau tersenyum lagi. Senyum manis yang membuatku jatuh dan terjatuh lagi dalam hangatnya hatimu.
Kurasa tempat ini mirip bilik penjara. Tak ada ruang bagi kaki panjangku. Lutut kita berhadapan saling bersentuhan.

Apakah kau senang hari ini?
Bukan hanya senang, sangaaaat senang.
Aku selalu suka caramu mengungkapkan kata yang berlebihan seperti itu. Kata orang, itu termasuk alay. Lucu sih lebih tepatnya. Karena kau selalu menggambarkan semuanya secara berlebihan. Tentang masalahmu dengannya atau juga tentang cintaku padamu. Kurasa kau terlalu berlebihan tentang perasaanku padamu sebab tak ada sesuatu yang bisa menggambarkan besarnya rasaku padamu saat ini. Sedalam samudera ataukah seluas jagad raya? Lebih dari itu, Han.
Aku menggeser tempat dudukku ke sebelahmu. Sangkar ini bergerak, miring.
Hati-hati, Dan. Sangkarnya berat sebelah. Nanti kita jatuh. Jeritmu ketakutan.

Hati kita ada di dalam sangkar di atas roda yang berayun-ayun. Kau di sisi kanan dan aku di sisi kiri. Jika aku berpindah ke kanan, kedua hati kita akan jatuh. Begitu pula jika kau berpindah ke kiri, sama-sama akan jatuh kemudian retak dan hancur berkeping-keping. Lalu bagaimana caranya agar sangkar ini tetap seimbang? Hanya ada satu dan satunya cara, kau tetap disana dengannya dan aku tetap disini dengan dirinya. Kita akan tetap bisa .. setidaknya, walaupun tak bisa bersama selamanya.

Aku duduk bersimpuh, meraih keningmu, mengecupnya. Sangkar ini berhenti berputar tepat ketika kami berada di puncaknya.
Aku sayang kamu, Han.
Aku juga sayang kamu, Dan.
Selalu.
Ya. Selalu.
Selamanya.
Pasti. Selamanya.

Boneka beruang hijau menutupi sinar-sinar mentari yang mulai meredup dimakan bumi. Menutupi janggut dan bibir kami yang saling berpagutan. Sinarnya hangat, begitu pula hatimu.

‘Cause I love you, whether it’s wrong or right and though I can’t be with you tonight, you know my heart is by your side.

–*
Teruntukmu Daniku, terima kasih untuk segalanya.

Beban Rasa

Jangan katakan cinta, menambah beban rasa, sudah simpan saja sedihmu itu, ku akan datang.

Bukanlah jarak yang menjadi masalah kita. Sejauh Aceh – Papua, sejauh surga – neraka. Seringkali yang sedekat serambi dan bilik saja harus tersekat. Kadang yang satu atap saja setiap hari saling membenci.

Masalah kita adalah waktu. Kapan hatimu dan hatiku bertemu. Ingin berjanji tapi tak terpenuhi. Dimana ruang tak lagi menjadi alasan. Maka sisihkanlah sebagian waktumu untukku.

Jadi, kapan kita pacaran lagi?

–*
Tentang sebuah waktu yang tak pernah dibeli dan selalu menunggu kapan hadirmu kembali di sisi.

Bocah dan Daun Kering

image

Aku hanya seorang anak kecil yang bahagia akan kedatanganmu. Pria dewasa berjas, koper, dan payung hitam. Kau bertanya, Apa yang kau harapkan dari kedatanganku?

Bukan berjuta-juta permen yang ada di dalam kopermu. Bukan terpesona akan bagusnya jas kepunyaanmu. Bukan pula sepatu hitam mengkilat di atas tanah rakyat jelata sepertiku.

Aku hanya menyukai daun kering yang kau terbangkan dari payung hitammu. Daun kering yang rapuh yang sering diinjak-injak orang. Kau bertanya sekali lagi, Mengapa?

Daun kering itu ibarat tangismu, masalahmu, keluh kesahmu yang tertutupi senyuman agar nampak bahwa duniamu baik-baik saja. Dan kau membagikannya denganku, hanya denganku.

Kau bocah yang aneh, ujarmu sambil menutup payung. Berbalik, lalu pergi tanpa menoleh lagi. Tak ada ucapan selamat tinggal atau sampai jumpa kembali seperti waktu-waktu yang lalu.

Ku punguti daun-daun kering yang jatuh di bumiku. Ku simpan dalam kantong kecil bajuku. Tersenyum ke arahmu. Wahai pria dewasa, aku suka daun-daun keringmu.

Aku akan selalu menanti. Karena aku yakin kau akan kembali. Entah membaginya lagi ataukah mengambil sisa daun-daun yang ku simpan ini.

–*
Daun yang jatuh tak pernah membenci angin.
Karena hidup bukan hanya tentang mencinta dan dicinta.

Seperti Dulu

Sejauh mata memandang, jalanan panjang dan lengang. Di depanku ada rambut berminyak sedikit panjang tertindih jaket tipis di tubuh ringkih. Tangan sebelah kiri dengan jemari kecil dan jam tangan perak. Speedometer tak berfungsi, spion menampilkan arah bawah tanah. Semuanya masih sama seperti dahulu.

Terkecuali.
Wangimu.
Senyummu.
Dan hatimu.

Sudahkah kau bahagia hari ini?

–*
Seberkas ingatan jangka pendek tentang Dani.
Pria dalam kenangan terbingkai pigora tak bergerak.

Singgahlah

Hampamu takkan hilang semalam oleh pacar impian tetapi kesempatan untukku ..

Kepalamu masih terdekap dalam dada. Pelukannya tak bisa ku lepaskan. Ku usap rambutmu berlahan. Tiupan angin laut membuatku ingin terlelap, bersamamu sambil menghirup lautan.

Tenanglah, kataku.

Bajuku basah karena air matamu. Dan kau masih dalam pelukan, menangis sedu. Dengan pikiran menjadi-jadi, keputusan yang gamang, dan hati yang tak bisa memilih.

Apa yang kau harapkan darinya, Han? Ia tak pernah bersamamu, tak pernah ada buatmu. Apa kau berharap ia membalas senyummu? Kecupanmu? Kasihmu? Jangan pernah. Tak ada seorang pun yang bisa menandingi sayangku padamu, tak terkecuali dia.

Apa yang kau lihat darinya? Kau bahkan tak sanggup melihat punggungnya. Karena semakin kau mendekat, punggungnya malah menjauh .. semakin menjauh tak teraih olehmu. Lihat aku disini, dengan luka abadi. Membenci dan mencintamu dalam satu waktu.

Mengapa bukan aku yang kau raih? Mengapa bukan aku yang kau cinta?

Dan. Panggilmu. Bisakah kita sejenak disini? Aku butuh waktu lagi, untuk bersamamu. Tak ku jawab karena tak perlu, kau tau pasti alasannya. Walaupun nantinya akan aku jawab, aku yakin kau tak akan mendengarnya. Karena ribuan kata cinta yang mengalir di telingamu selama ini tak pernah masuk dalam rongga-rongga hatimu.

Jika seperti ini jangan pernah salahkan aku jika aku terus berdoa agar dia selalu menyakitimu. Karena jika kau bahagia kau tak akan akankembali kesini, untuk singgah. Tidak mengapa walaupun sebentar, lebih dari cukup dari yang ku inginkan. Pelukanmu semakin erat.

–*
Sepenggal rasa untuk Hani. Wanita yang sedang dalam pelukan, menangisi hujan di bulan Desember.