Jikapun Harus Mati

.. hari ini.

Sinusitisku kambuh lagi dari kemarin sore. Dihadapan hanya terlihat pintu kematian. Ada saja caranya untuk mati, aku punya salah satunya. Satu sentimeter di bawah dahiku. Rongga yang umum dimiliki oleh semua orang, punyaku ada isinya. Dan isi itu bisa dikeluarkan, jika itu termasuk sinusitis yang berada di bawah mata –sekitaran pipi, tapi jika yang frontal? Jarumnya harus masuk darimana untuk menembus tulang tengkorak selain mencongkel salah satu bola mata?

🙂

Kematian kadang datang semudah itu, kawan. Makanya aku tak terlalu memikirkan masalah di kantor, atau masalah antara rekan kerja, karena jika mati tak ada satu masalahpun yang harus dipikirkan bukan?

Nikmati saja hidupmu, al. Perbanyak syukur dan senyum. Perbaiki ibadah dan belajarlah selagi bisa, selagi ada waktu. Cintai mereka yang mencintaimu, lupakan mereka yang menghianatimu, ingatlah mereka yang selalu ada untukmu.

Jikapun harus mati hari ini, tolong jaga dan rawat senyuman manis Za. Karena di dalam matanya lah aku selalu hidup.

–*
Selamat tinggal, Dan 🙂

Kejora

Malam ini indah, sayang. Gemintang terlihat di angkasa yang kelam. Satu dua berkedip padaku. Sinarnya lebih terang dari cahaya lampu kota. Saking indahnya malam ini hingga kulihat ada pelangi.

Di matamu.

Kuberi nama kau kejora. Bahasa sansekerta dari planet Aphrodite dewi segala kecantikan alam semesta. Meski sebenarnya tak dapat mewakili segala kecantikanmu. Karena kau lebih dari itu.

Ujung timur bumi dihinggapi purnama jingga kemerahan. Seperti pipimu yang merona saat kukecup manja. Walau tak dapat mewakili, lukisan indah Tuhan di malam ini menggambarkan engkau, bidadari.

Aku laksana dahan kering yang terjatuh, dikoyak angin, dicerca hama. Hanya bisa melihatmu, indah matamu, hangat punggungmu, dan sentuhanmu ketika memungutku.

Denganmu, aku sanggup jatuh hati berkali-kali. Bersamamu, aku siap menjadi segalamu.

–*
Hani. Yohani Agatha. Sang Aphrodite jiwaku.

Jikapun Harus Jujur

Sebut saja aku pendusta. Karena tak bisa memandangi wajahmu walau hanya sepuluh detik. Aku bisa saja terpesona oleh kedipan, tapi dari semua kebohonganku untuk tak ingin bertemu denganmu adalah aku takut kau dapat membaca mataku. Tak hanya ada kau disana, tapi semuamu yang tak semuanya punyaku. Kau dan segala cerita tentang pria tukang tambal ban membuatku ingin mendengar setiap episodenya. Apa yang terjadi denganmu dan dengannya, apa yang sebenarnya di dalam hatimu dan hatinya, hingga kau tak pernah merasakan apa yang kurasa padamu.

Sebut saja aku pendusta. Ingin kau mati saja dan menghilang dari dunia ini. Sebab keberadaanmu yang membuat aku membeku seperti cuilan es kutub selatan. Menyejukkan namun membuat kehilangan arah. Sebab bersamamu aku tak pernah bisa membedakan antara utara dan selatan, barat dan timur, kebenaran dan kebohongan, jalan sesat dan arah pulang.

Sebut saja aku pembohong. Tak ingin melihatmu, menyentuhmu, memelukmu. Sebab ada atau tiada kau seperti bantal guling dalam kamar tidurku. Kau ada, aku tertidur memelukmu. Kau tiada, aku tetap tertidur, merasakan lenganmu menjangkau pelukku.

Jikapun harus jujur, aku membutuhkanmu. Sebenarnya. Namun urung ku ucap karena dia tengah memegang tanganku erat. Jikapun harus jujur, aku ingin dia adalah kau. Setidaknya aku ingin kau membelah diri, sisakan satu yang seperti dirimu untukku.

–*
Dan, jikapun harus berdusta .. katakan kau cinta aku.

Cangkir

Langit yang mulai temaram dihinggapi sayu gerimis yang sedari tadi turun tiada henti. Di bangku paling selatan aku masih duduk menatap cangkir kopi setengah penuh setengah kosong. Lima belas menit yang lalu kau meninggalkan bangku tepat di sebelah, langkah-langkah yang pergi menjauh, namun jejak-jejak aroma napasmu masih membayangi.

Masih kupandangi cangkir yang sama, di atas meja yang kau tinggalkan. Ukuran cangkir standart dengan ujung pegangan yang sedikit retak akibat panas dan dingin saling bertemu. Cangkir itu sedang demam, sayang. Seperti aku yang deman akan pertemuan-pertemuan kita.

Aku menebak dari keliling lingkaran cangkir yang kau pegang tadi, rasio perbandingan bisa menyentuh bekas kopi oleh bibirmu adalah 1:8. Seperempat dari sebuah lingkaran. Walaupun cangkir ini tak sepenuhnya bulat. Kau tak meninggalkan bekas lipstikmu disana, aku tak pernah tau kau meminum kopimu dari ujung cangkir sebelah mana. Layaknya cumbu yang kau bekaskan di sudut leherku, walau aku tau tapi aku tak bisa melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.

Masih ku pandangi cangkir yang sama, setengah penuh dan setengah kosong seperti hatiku. Penuh akan cintamu dan kosong akibat kepergianmu. Senyummu, candamu, tatapan mata ketika kau marah, atau ujung bibir mengerucut saat kau cemberut. Aku masih ingat. Pun saat kau menghilang dan tiba-tiba kembali muncul. Seperti luka yang belum kering, mengelupas.

Ku sentuh tepi cangkir kopi, memutar dari ujung hingga ujung yang ku sentuh pertama kali. Kemudian ku cicipi hingga ku gigiti bibir sendiri.

Han, Kenapa kau pergi?

–*
Masih ada cumbumu disana, bolehkah ku santap sekali lagi?

The Day

<< Sebelumya

Heart beats fast. Colors and promises. How to be brave? How can I love when I’m afraid to fall? But watching you stand alone, All of my doubt suddenly goes away somehow. One step closer.

Berada di depan pintu. Gaun putihnya berkibaran ketika ia melangkah. Anggun. Semua mata tertuju padanya. Di ujung sana, di depan altar. Seorang pendeta dan pendamping sejatimu telah menunggu.

Sesekali ayahmu tersenyum kemudian bersedih. Terlihat senang, tiba-tiba murung. Seperti kepalanya dihinggapi sarang lebah, manis madunya namun perih sengatannya. Pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu pikirannya.

Apakah kau akan bahagia? Apakah laki-laki itu akan membahagiakanmu? Walau ada dia, apakah kau masih sayang ayah, Hani?

unduhan

Apakah kau masih sayang padaku?

#DAN

–*
Draft yang sudah sangat lama sekali tersimpan disini, dua tahun yang lalu,
dilanjutkan atau tidak, Dan?