Tak ada yang abadi

Minggu 26 April 2009

Di tengah kerumunan orang-orang bertubuh besar. Diantara kebisingan suara yang menggelegar. Aku disini berdiri. Menatap tajam kesekelilingku. Orang-orang berloncatan, menari mengikuti gerak irama lagu. Begitu banyak kerumunan orang yang bergoyang, serasa bumi ini juga ikut bergetar.

Aku menatap ke angkasa. Hitam… tak ada satu pun bintang yang berada di sana. Bahkan awan pun ikut lenyap. Kemanakah sang bulan yang setiap hari menyinari kegelapan malam? Ia menghilang…

Sorot lampu dengan berbagai macam warna menyinari hitamnya angkasa. Menyinari kesedihan manusia-manusia yang bernyanyi dalam kegelapan. Kegelapan hati, kegelapan nurani, bahkan kegelapan iman.

Panggung besar itu berada tepat di tengah lautan manusia yang menghampirinya. Tak tanggung-tanggung, tiga layar besar di tempel sedemikian rupa hingga semua dapat melihat wajah idolanya. Slide demi slide gambar muncul secara bergantian. Diiringi teriakan manusia yang terdengar seperti lolongan serigala, ketika mendapat guyuran air dari pipa-pipa besar. Sorotan cahaya tak henti-hentinya berputar. Mengintari para manusia juga mengintari kegelapan angkasa.

Seiring dengan bertambahnya lagu, bertambah pula orang-orang yang dimabuk cinta. Kawula muda yang berpasangan, berduaan di tengah keramaian orang, serasa bumi jadi miliknya. Berpegangan, berpelukan, bahkan…

Malam ini, semua terasa lengkap, semua terasa sempurna. Pikirku.

Tiba-tiba, di tengah keramaian terdengar suara yang lebih menggelegar ketimbang lantunan lagu sang idola. Sorotan cahaya seketika mati diiringi runtuhnya layar yang menimpa panggung besar. Bumi yang diinjak-injak manusia berlarian bergetar hebat. Dengungan lagu indah berganti menjadi suara tangis menyayat hati. Tangan yang menyatu, kini juga saling melepaskan diri. Ada apakah ini sebenarnya…

Tak ada yang abadi. Kemegahan panggung besar kini rata dengan tanah. Cahaya terang benderang dari sorot lampu kini berganti dengan cahaya dari senter kecil. Kegembiraan kini berubah menjadi kesedihan. Tawa manusia yang sombong kini berubah menjadi lantunan sendu doa-doa.

Angkasa masih saja tetap hitam. Masih juga tak tampak segerombolan awan. Wahai bintang-bintang, kemanakah engkau berada. Bulanku sayang, muncullah, jadikanlah malam ini terang benderang. Agar bisa menerangi hatiku yang gelap. Segelap keglamoran kehidupan malam.

Selangkah lagi

Senin 25 Mei 2009

Aku tidak tau apa yang membuatku tertarik pada Jogja. Aku juga tidak tau apa yang membuatku ingin sekali menujunya. Apa karena budayanya? Keindahan sejarahnya? Keantikan batiknya? Atau karena seseorang yang berada disana? Aku tidak tahu.

Jogja. Bagaimana suasananya? Apakah masih alami seperti jaman dahulu kala? Penuh dengan dokar dan masyarakat yang memakai batik, tarian daerah di segala sudut kota, nyanyian khas dari seorang sinden yang bergaung  ke seluruh penjuru mata angin? Aku tak pernah mengenalnya, bahkan menyentuhnya. Aku tidak tahu bagaimana rasanya.

Jogja. Kota impian yang selalu ingin ku tuju. Tempat abstrak yang sangat indah dalam bayangan imajinasiku. Tapi … aku sama sekali tak punya akses untuk kesana. Lalu bagaimana bisa aku meraih impianku pergi ke Jogja?

Impian yang akan menjadi kenyataan setelah aku tahu bahwa rayon Jogja membutuhkan tenaga tambahan. Ya, kampus mengadakan kegiatan besar yaitu olimpiade matematika yang tahun ini diadakan di 21 kota se-Jawa Bali, dan salah satunya adalah Jogja.

Ide bagus untuk menjadi panitia rayon Jogja. Dengan begitu aku mempunyai akses kesana. Namun, bagaimana dengan Lumajangku tercinta? Kota ini juga membutuhkanku. Membutuhkan tenagaku, membutuhkan segudang ideku, membutuhkan segenggam cintaku.

Aku menimbang bayak hal, banyak faktor, dan banyak kondisi. Setelah merenung beberapa hari, akhirnya kuputuskan … tahun ini aku ke Jogja.

Alangkah bahagianya aku ketika mendengar kabar bahwa aku diterima menjadi panitia rayon Jogja, secara resmi pula, meski harus memohon berminggu-minggu pada sang ketua. Namun untuk Jogja, apapun akan ku lakukan.

Tak semudah yang aku bayangkan. Tak segampang itu memang. Aku harus mengumpulkan biaya, uang untuk hidup disana walaupun hanya satu hari. Ku perkirakan, aku akan menghabiskan dana banyak untuk menujunya. Ditambah dengan tenaga yang banyak juga akan menghabiskan waktu. Aku tahu itu.

Aku membaca sebuah paragraf dari sebuah novel yang ku pinjam hari ini, “ … bisa jadi sesuatu yang tidak kita sukai adalah yang terbaik untuk kita. Begitu juga sebaliknya, apa yang kita kejar dan idamkan setengah mati belum tentu baik untuk kita … “.

Apa arti kalimat-kalimat di atas?

Apakah impianku menuju Jogja adalah hal termuluk sedunia? Apakah impian itu tak bakal jadi kenyataan?  Jika memang benar aku tak dapat memeluk impianku ini, apakah Jogja belum tentu baik untuk ku? Mengapa demikian? Apakah aku bagai pungguk merindukan bulan? Apakah Jogja tidak menyukaiku?

Jika semua itu benar, lantas apa yang terbaik untukku?

Arrggghhhh … kulitku !!!

Rabu 20 Mei 2009

Aku terbangun tiba-tida di dini hari ini. Aku merasakan rasa yang tak enak pada badanku. Aku merasa amat sangat gatal sekali.

Arrggghhhh… kulitku !!!

Ku pandangi lekat-lekat kulit di kedua lengan tanganku yang kemerahan bentol-bentol seperti gigitan nyamuk. Parahnya, seluruh badanku sama seperti itu. Arrggghhhh… kulitku !!! kulitku yang hitam manis. Kuliku yang hitam eksotik, kini berubah menjadi bentol-bentol merah tak karuan.  Apakah ini hanya mimpi? Tidak. Ini kenyataan, bung. Aku merasakan gatalnya. Sangat aku rasakan.

Tadi sore mungkin adalah awal permulaan bagaimana penyakit ini bisa terjadi. Ketika aku sedang asyik belajar kalkulus. Aku merasakan gatal-gatal di bagian leher, pundak, dan punggung. Aku pikir hal ini biasa. Mungkin saja badanku masih kotor meskipun aku baru saja mandi. Ataukah gara-gara aku belajar kalkulus dan badanku amat membencinya, sehingga bereaksi terhadap kulitku?? … kesimpulan yang aneh.

Aku sudah tidak kuat. Aku sudah tidak tahan menghadapi gatalnya. Aku butuh obat. Obat yang bisa mengobati sakit ini dalam sekejab. Tetapi obat canggih manapun tak akan bisa ku dapatkan , ingat … ini masih tengah malam, tak akan ada toko yang menjualnya. Apalagi disini adalah daerah kos-kosan yang padat penduduk. Pagi hari ramai seperti pasar, malam hari tenang bagai kuburan.

Arrggghhhh… kulitku !!!

Aku harus meminta bantuan. Bantuan pada siapa saja yang mau membantu. Tetapi di tengah malam seperti ini siapalah yang mau membantu. Mbak kunti saja belum tentu mau membantu meski ku tawarkan rebonding gratis untuknya.

Ku ambil handphone. Ku coba menghubungi seseorang. Kulihat pulsa yang tersedia. Tinggal 1340. Bodoh. Kenapa tadi siang aku tidak membeli pulsa? Percuma saja meratapi kebodohan sekarang.

Ternyata aku berhasil menghubungi walaupun sekedar misscall. Ku tambahkan sms gawat darurat meskipun kejadian ini tidak begitu penting. Dan hapeku berbunyi,

“Halo, nak …,”.

Akhirnya Ibu meneleponku balik. Seorang yang selalu dapat ku andalkan setiap saat. Aku sangat bersyukur.

Ku ceritakan panjang lebar mengenai apa yang terjadi padaku saat ini. Beliau pun menanyakan tentang makanan apa yang ku makan sehari penuh tadi?  Sepengetahuanku, aku tidak makan yang aneh-aneh hari ini. Makan malam tahu telor, siangnya nasi pecel. Aku sudah terbiasa memakan makanan itu, tidak mungkin aku … (tidak tawar). Dan makanan itu juga merupakan makanan yang telah terdaftar pada deretan menu makananku selama ini. Lalu apa yang menyebabkannya? Oh iya. Aku baru ingat. Tadi pagi aku memakan sesuatu yang tak pernah aku makan akhir-akhir ini, yaitu bubur ayam. What? Aku tidak mengerti bagaimana bisa bubur ayam yang menyebabkannya? Lagi pula bubur ayam ini mahal, jelas higienis dan bermanfaat tinggi. Oh… otakku tak dapat menerimanya.

Aku pikir, semua itu disebabkan karena handuk. Mungkin saja handuk yang ku pakai sudah terinfeksi kuman-kuman beracun yang terbawa angin, karena tadi siang aku menjemurnya di luar. Atau mungkin karena air yang ku pakai mandi? Secara aku adalah orang terakhir yang menggunakan fasilitas kamar mandi itu. Jika memang iya, kenapa hanya aku saja? Bukankah orang lain juga menggunakan air yang sama? Anehnya, badanku saja yang gatal-gatal. Bagian perut dan muka (juga bagian vital) tidak. Aneh sekali, bukan? Teorema handuk dan air yang tercemar pun tidak dapat dibuktikan.

Apakah karena bajuku kurang steril? Ataukah aku memang tidak cocok berada di lingkungan ini? Ah… mengarang saja diriku. Aku sudah hampir setahun berada disini.

Ibu menyarankan agar aku meminta bantuan ibu kos. Meminta obat apa yang cocok untuk meredakan gatal-gatal ini. Percaya atau tidak ibu kosku adalah orang yang tau mengenai obat-obatan. Meskipun beliau bukan lulusan apoteker, namun setiap aku bertanya tentang obat apa saja yang manjur beliau pasti menemukan jawaban yang tepat. Begitulah, … ibu kosku memang pintar.

Kemudian, aku mengikuti saran ibu. Di saat hampir tengah malam, dengan lancangnya aku membangunkan bapak kos yang tertidur lelap. Dengan televisi yang masih menyala, bapak kos akhirnya terbangun dan segera mencari obat yang cocok untuk kulit yang memerah ini.

Sesuai dengan rekomendasi ibu, lotion berwarna pink itu beliau berikan padaku. Dan dengan sesegera mungkin mengusapkannya rata di seluruh permukaan badanku. Yang pastinya tidak dihadapan bapak kos. Haha … kau jangan bercanda.

Namun, aku masih tak habis pikir, apa yang menyebabkan semua ini? Apa sumbernya? Siapa yang harus disalahkan? Ah… kulitku. Ia tak mau berkata apa yang sesungguhnya terjadi.

Bagaimana caraku mati?

Minggu 17 Mei 2009

Setiap makhluk yang hidup pasti akan mati juga. Disadari atau tidak, pertanyaan bagaimana cara mati akan muncul dalam benak setiap individu di dunia. Manusia hidup bersama takdir yang mereka bawa. Salah satunya adalah kematian. Namun, tak ada seorang pun di dunia ini yang mengetahui bagaimana ia akan mati.

Kematian identik dengan umur yang udzur. Setiap orang yang berusia lima puluh tahun ke atas bakal was-was menanti ajal. Tak tahu kapan. Namun, tak banyak manusia yang mati dalam usia dini. Entah karena penyakit atau kecelakaan. Berapapun usia yang dimiliki manusia tak ada pengaruhnya dengan dekatnya gerbang kematian.

Begitu pula aku. Aku ingin tahu, bagaimana caraku mati nanti. Apakah biasa saja, tau bahkan tragis melebihi cerita horor bioskop?

Umur. Adalah hal yang lumrah dibicarakan. Umur identik dengan waktu. Dan waktu tak ada yang abadi, semuanya akan kembali kepada-Nya. Aku tak yakin bahwa aku mampu hidup sampai umur lima puluh tahun. Tak tahu mengapa, kurasa aku akan mati dalam usia itu. Mungkin.

Mati karena waktunya, adalah hal yang wajar. Kapan waktu yang tepat untukku?

Aku sering berpikir. Mungkin saja aku mati karena penyakit. Sepengetahuanku, aku tak punya penyakit yang begitu parah. Tapi kanker bisa menyerang siapa saja, termasuk aku. Aku pikir, yang dapat membuatku mati adalah masalah perutku. Aku memang bermasalah dengan pencernaan. Jika dilihat dari luar memang aku tidak apa-apa, namun sebenarnya di balik kulitku adalah hal yang dapat menjadi salah satu penyebab kematianku. Susah buang air besar, itulah sebabnya. Entah karena makanan, kekurangan cairan atau memang lubang anusku yang terlalu kecil, aku tetap saja tidak bisa mengeluarkan sisa-sisa makananku. Sampah menumpuk di perutku sampai aku terlihat seperti orang hamil lima bulan. Ah… perutku…

Organ lain yang berpotensi adalah masalah gigi. Jujur, aku tak punya gigi yang sehat. Tidak teratur, putih kekuningan, plak dimana-mana. Yang jadi masalah adalah kedua gerahamku di sisi kanan dan kiri berlubang. Berlubang bukan sekedar lubang biasa, nyaris hilang seperti membentuk palung yang dalam. Aku sendiri sering kesakitan jika gigi ini bermasalah. Gara-gara sisa makanan yang menyelip entah malas gosok gigi, jadi penyebabnya. Seperti yang kita ketahui, gigi amat dekat dengan saraf. Aku tahu bahayanya gigi berlubang, langsung ke saraf. Aku tahu, banyak penyakit yang menginap  di situ. Entah suatu saat, aku tahu, mungkin gigi ini yang mematikan seluruh safaf di otakku.

Kanker. Aku masih belum tahu aku terkena kanker apa. Tapi aku tak yakin aku bisa mengidap kanker  payudara. Bukan karena aku telah memeriksakan diri, namun orang sepertiku, wanita yang tak punya payudara, apa mungkin bisa terkena? Memang bukan hal yang mustahil. Laki-laki saja bisa mengidap kanker ini. Dengan prosentase 1:1000 laki-laki di dunia. Maka tak mustahil aku juga akan bisa mengidapnya.

Jantung? Aku belum mempermasalahkannya, untuk hari ini, entah untuk hari kedepan. Namun, paru-parulah yang menurutku lebih berpotensi. Karena dulu, aku pernah di opname gara-gara sesak napas. Menurut riwayat kesehatanku, kejadian itulah yang paling wah ketimbang kejadian kesehatan lainnya.

Aku juga mempermasalahkan ginjal. Aku orang yang tak begitu sering minum air putih. Apalagi, aku terbiasa untuk menahan kencing. Mungkin ginjal yang ukurannya cuma sekecil kacang mempunyai potensi sebesar dunia untuk membuatku mati.

Aku juga tak memungkiri bahwa bisa saja aku mati karena kanker leher rahim. Sejak aku telat datang bulan kemarin, semakin tajam saja pikiran itu di benakku. Mungkin juga karena bakteri jahatnya. Atau malah yang paling mambahayakan, hiv/aids. Bisa saja itu terjadi.

Aku menduga, bagian dalam otakku juga rentan terhadap resiko kematian. Gejala pusing yang biasa saja sampai akhirnya menjadi masalah serius, gegar otak atau amnesia misalnya.

Namun, cara terbesar untuk mati bisa saja dilakukan dengan atau tanpa sebab. Bunuh diri misalnya. Aku masih waras, tak akan ku lakukan hal bunuh diri walaupun cara itu adalah cara terbaik untuk mati. Mati dengan konyol menurutku. Mati sia-sia dan percuma.

Banyak juga yang mati karena kecelakaan. Suatu musibah. Aku jadi berpikir, apakah nanti aku mati karena kecelakaan? Kecelakaan seperti apa? Tertabrak bus ataukah tertembak peluru nyasar, bisa juga karena nasib sial sehingga aku mati di tangan bom teroris.

Karena alam yang marah? Banjir, longsor, tsunami, gunung meletus? Tersambar petir atau tenggelam di lautan terdingin di dunia?

Aku tak tahu, kawan. Hal bodoh jika menanyakan kapankah ku mati. Namun, aku sangat ingin mengetahuinya. Kapankah ku mati? Bagaimanakah caraku mati? Apakah aku masuk surga ataukah berada di neraka selamanya?

Ketika status dipertanyakan

Minggu 17 Mei 2009

Aku memandangnya seakan tak percaya atas apa yang baru diucapkannya.

“Benarkah itu?” tanyaku sekali lagi.

Ia hanya tersenyum. Sebuah senyuman yang tak dapat ku artikan seutuhnya.

“Kau tidak percaya?” ia bertanya balik padaku.

Alisku terangkat sebelah. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Aku tak habis pikir, pria sepertinya akan mengambil kesimpulan yang kelihatannya amat terburu-buru dalam hidupnya. Ku pandang ia sekali lagi. Tak ada yang salah dengan dirinya. Juga tak ada yang salah atas pilihannya. Namun, kenapa hal ini tidak dapat masuk ke dalam kepalaku secara rasional.

Coba bayangkan. Pria yang sehari-harinya bergaul dengan wanita manapun sesukanya, kini harus menghadapi detik-detik terakhir melepas masa lajangnya. Ia akan bertunangan. Sebuah status tepat persis di bawah tingkat yang disebut menikah. Bukan hal yang menarik memang, namun status itu tak dapat diremehkan keberadaannya. Status dimana pasangan mencoba bertahan, mencoba mengerti, mencoba menjalani kehidupan baru yang esok akan mereka lewati.

Ia mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas hitamnya. Ia memperkenalkan sesosok wanita rupawan yang berada di foto itu.

“Namanya Annisa”.

Ku pandang lekat-lekat sosok wanita yang akan mendampingi hidupnya. Wajah putih merona, menandakan si wanita itu menjaga keindahannya. Jilbab panjang menutupi tubuhnya, menandakan ia benar-benar seorang yang taat pada agamanya. Dan ia terlihat sangat pintar karena kacamata yang bertengger di atas hidungnya.

“Ini pilihanmu?” tanyaku seakan tak percaya.

“Ia pilihanku” jawabnya tegas.

Aku masih tak dapat berpikir tenang. Aku masih tidak percaya. Aku bingung. Sungguh. Apakah ini hanya sebuah permainan? Jika memang iya, aku tak mau dipermainkan olehnya.

Ku ingat dulu, ketika pertama kali ku mengenal sosok pria yang menjadi idaman semua wanita manapun. Wajah Indonesianya yang rupawan, tatapan mata tajam seakan-akan bisa menembus hati terdalam setiap wanita, senyuman yang bisa mengundang perhatian banyak orang, apalagi kata-kata indah yang keluar dari mulut manisnya membuat semua wanita akan bertekuk lutut dihadapannya.

Dian, Nina, Sonia, … dan wanita-wanita lainnya sudah pernah mendarat ke pelukan sang buaya. Merelakan segalanya demi dia. Merelakan harta, waktu, bahkan kehormatannya. Dan aku tidak tahu, bagaimana nasib wanita-wanita itu sekarang. Jika mereka tahu si buaya ini akan bertunangan dengan wanita alim yang belum lama dikenalnya, aku yakin wanita-wanita itu akan tertawa kebingungan selamanya.  Aku yakin, wanita dalam foto ini adalah wanita ke seribu yang berada di hati pria ini.

“Kau jangan berpikiran macam-macam tentang dia. Dia wanita baik-baik”, katanya.

“Aku tahu dia wanita baik-baik. Tapi aku tak yakin bahwa pasangannya adalah pria baik-baik”.

Ia tersenyum simpul, “Mengapa kau berkesimpulan seperti itu? Aku sudah berubah”.

“Terserah apa mau mu. Aku tak percaya”.

Ku taruh foto itu di meja. Aku bangkit dari tempat dudukku. Pria ini meraih tanganku, ia tahu bahwa aku akan meninggalkannya sendirian di ruang tamu.

“Kumohon…”, suaranya memelas.

Ku lepaskan paksa tanganku darinya. Aku melangkah menjauh darinya. Aku terdiam ketika ia bangkit dari duduknya dan menghampiriku, memelukku dari belakang.

Ku dengar suaranya sayup-sayup. “Kumohon, restuilah aku dengannya, Kak”.

Tanggannya terasa dingin memeluk tubuhku. Pundakku basah oleh air matanya.  Aku tak dapat bicara. Aku tak tau harus berkata apa. Aku tak mengerti dengan pikiran pria ini. Haruskah ku percaya dengan kata-katanya?